Selasa, 01 Juli 2014

Lemontea skripsi

Skripsi adalah bagian dari masterpiecenya S1. Pengerjaannya sungguh membutuhkan banyak pengorbanan, dia begitu menyita waktu, tenaga, pikiran, materi, dan kesabaran. Jangan dilawan! Memang begitulah skripsi, harus giat, gigih, dan berkomitmen dalam penyelesaiannya.
Tidak ada satu mahasiswapun yang tidak ingin menyelesaikan skripsinya. Semua ingin berjalan sesuai target dan rencana, semua ingin selesai tepat pada waktunya. 6 bulan (1 semester), adalah batas waktu yang Universitas berikan kepada setiap mahasiswa. Semangat merampungkan karya masterpiece itu dengan tepat waktu seringkali menjumpai berbagai kendala, baik yang datang dari diri sendiri sampai dosen pembimbing yang saklek dan idealis. Semua begitu terasa dilematis, kadang muncul pikiran yang mengarah pada pesimistis. Fase-fase ini lah yang rentan membuat down mental mahasiswa.
Saudaraku sesama mahasiswa tingkat akhir, tidak dapat dipungkiri skripsi yang tertahan karena dosen yang idealis membuat kita kerapkali menghujat dalam hati. bahkan membenci setiap proses yang berliku ini. Padahal Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 216, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui". Ayat tersebut memutar arah pikiran saya terhadap apa-apa yang Allah rencanakan untuk hidup saya. Boleh jadi dalam proses studi yang saya anggap pahit ini, Allah SWT sedang menanamkan jejak kebaikan di dalamnya. Wowlohualam bi sawab.
Saat ini saya hanya meyakini Dia mencermati setiap ikhtiar saya, Dia pasti perhitungkan segala lelah saya. Cepat atau lambat penyelesaian studi saya itu adalah takdirNya. Yang penting saya tetap berusaha dengan cara yang benar, merayuNya melalui doa, dan tetap berbaik sangka pada setiap fase yang Dia ciptakan untuk saya. Keep calm, stay positiv to Allah SWT, and Allahuakbar!

Jumat, 17 Januari 2014

Kritik Sastra; Perempuan dan Seksualitas dalam cerpen "Mereka Bilang Saya Monyet!" Karya Djenar Maesa Ayu (Kajian Feminisme)

Potret Perempuan  dengan Seksualitas dalam Cerpen “Mereka Bilang Saya Monyet!” Karya Djenar Maesa Ayu (Kajian Feminisme)

Seksualitas adalah hal yang dianggap tabu untuk dibicarakan. Apalagi dalam sebuah karya sastra yang penikmatnya mencakup semua golongan. Alasannya klasik, tidak ladzim membicarakan seks apalagi dalam sebuah tulisan yang dipublikasikan. Kita kadang terlalu berlebihan memandang hal seksualitas. Padahal orang dewasa perlu berdiskusi tentang itu.
Bicara seksualitas tentu tidak lepas dari sosok perempuan. Perempuan sebagai pelaku seks dan perempuan sebagai korban pelecehan seksual. Perempuan sebagai makhluk yang dinilai lemah acapkali mengalami kekerasan, baik kekerasan fisik maupun seksual. Dalam cerpen “Mereka Bilang Saya Monyet!” Djenar coba menguraikan sisi lain perempuan dengan perilaku seksnya  yang dianggap tabu serta emansipasi perempuan yang dia cerminkan dalam tokoh Saya.
Tokoh profeminis dalam cerpen Mereka bilang, saya monyet! Karya Djenar Maesa Ayu adalah saya atau penulis sendiri. Penulis yang dimaksud disini adalah Djenar Maesa Ayu. Ide emansipasi muncul dari penulis atas dasar ketidakpuasan dan ketidakadilan hak terhadap pemerintahan yang notabene dipimpin oleh seorang laki-laki. Ide emansipasi yang dimunculkan oleh penulis tidak bersifat radikal hanya menginginkan pembenahan atau pengakuan terhadap kedudukan perempuan dimata laki-laki karena perempuan sering sekali menjadi korban penganiayaan laki-laki baik secara fisik maupun mental.
       “Waktu saya mengatakan bahwa saya juga mempunyai hati, mereka tertawa dan memandang saya dengan penuh iba atas kebodohan saya. Katanya hati yang mereka maksudkan adalah perasaan, selain itu mereka juga mempunyai otak. Tapi ketika saya protes dan menyatakan bahwa saya mempunyai otak, lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak. Katanya, otak yang mereka maksudkan adalah akal.”
Dari kutipan diatas terlihat bahwa laki-laki memiliki kuasa atas perempuan. Laki-laki seorang pemimpin, laki-laki mempunyai kedudukan dalam pemerintah, laki-laki berkuasa dan berhak mengatur siapa yang boleh berpendapat dan siapa yang tidak boleh berpendapat. Penulis merasa ketidakadilan sedang berada pada dirinya. Oleh sebab itulah ide emansipasi muncul dalam diri penulis. Laki-laki memang menjadi seorang pemimpin namun bukanlah seorang pemimpin yang baik, bukan laki-laki yang memikirkan kesejahteraan hidup orang banyak. Laki-laki tersebut hanya bersembunyi dibalik penampilannya namun, hatinya seperti binatang. Demikian penggambaran penulis terhadap tokoh laki-laki dalam cerpen Mereka bilang, saya monyet! Laki-laki tersebut beridentitas manusia namun hati dan kelakuannya seperti binatang.

Penulis yang berjenis kelamin perempuan merasa dirinya lebih baik dari pada seorang laki-laki yang hanya baik diluar namun hatinya busuk. Penulis memiliki akal dan perasaan. Mampu memimpin seperti halnya laki-laki tercermin dalam kutipan berikut ini.

Saya memperhatikan bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang. Kata mereka saya adalah seekor monyet. Waktu mereka mengatakan itu kepada saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jika saya seekor monyet maka saya satu-satunya binatang yang paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas mereka. Tapi mereka bersikeras bahwa mereka manusia bukan binatang, karena mereka punya akal dan perasaan. Dan saya hanyalah seekor binatang. Hanya seekor monyet!

Penulis beranggapan derajad perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Walaupun dirinya disebut sebagai monyet namun dia tidak marah karena monyet lebih baik dari pada binatang manapun, karena monyet satu-satunya binatang yang mirip dengan manusia. Mampu hidup dengan masyarakat dan menghargai sesama. Tidak saling menyakiti dan membutuh sesama jenis. Oleh karena itulah timbul keinginan dari diri penulis untuk melawan ketidakadilan tersebut. Penulis tidak mau tertindas dalam dominasi kaum laki-laki. Hal tersebut dituangkan penulis dalam kutipan berikut ini.

Saya menunggu di dalam kamar mandi. Tidak lama pintu diketuk. Saya membuka pintu. Si Kepala Buaya menyeruak masuk dan memberondong saya dengan ciuman. Saya cekik lehernya dan saya sandarkan dia ke dinding. Saya hajar mukanya seperti apa yang saya harapkan sebelumnya. Pintu kamar mandi diketuk. Saya membuka pintu dan Si Kepala Ular sudah berdiri berkacak pinggang di depan pintu. Saya mempersilakan ia masuk dan meninggalakan mereka. Saya mendengar suara tamparan di pipi Si Kepala Buaya tempat saya menghajarnya tadi.

Feminisme ini ditunjukkan Djenar melalui tokoh Saya yang berpikir idealis. Meskipun
dapat dianggap sebagai binatang monyet tetapi dikonotasikansebagai binatang yang hampir mirip dengan manusia. Secara tidak langsung,Djenar ingin menyampaikan bahwa belum tentu manusia itu baik. Manusia adayang berkelakuan seperti binatang. Djenar menunjukkan
perlawanan dengankemunculan tokoh Saya yang bersifat idealis dengan apa yang diyakininya..
lalu beberapa isyu seksualitas coba dikupas Djenar melalui cerpen ini. Djenar berani melawan ketabuan lewat penanya. Dia menceritakan bagaimana perempuan sangatlah dekat dengan seks. Bagaimana wanita ternyata begitu intim dan rawan dengan dunia seks. Bahkan wanita dijadikan objek seksualitas oleh laki-laki untuk memenuhi hasratnya.  Itu tercermin dalam teks berikut.
            “Kebutuhan saya untuk buang air kecil semakin mendesak. Pintu kamar mandi masih terkunci. Saya mengetuk pintu pelan-pelan. Tidak ada jawaban dari dalam. Tidak ada suara air. Tidak ada suara mengedan. Saya menempelkan telinga saya di mulut pintu. Saya mendengar desahan tertahan. Saya kembali mengetuk pintu. Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat lubang kunci bersamaan dengan pintu dibuka dari dalam. Sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari dalam kamar mandi. Yang laki-laki lantang memaki, “Dasar binatang! Dasar monyet! Gak punya otak ngintip-ngintip orang!”
            Teks di atas jelas memaparkan hal yang sudah menjadi rahasia umum. Perempuan menjadi objek seksualitas kaum adam. Bahkan ditemukan pada tempat yang tak ladzim. Ini yang coba Djenar ungkapkan. Bahwa kekerasan dan pelecehan seksual pada perempuan bukanlah suatu hal yang harus dikonfrontasikan dengan moral dan mitos keperawanan. Prostitusi kini menjalar dimana-mana, korban perkosaan semakin banyak, belum lagi diskriminasi yang muncul terhadap korban kekerasan dan pelecehan seksual, dan juga pandangan tentang seks yang ditabukan dan tidak pantas dibicarakan menambah keresahannya.  Djenar merasa ini adalah problem Dia juga sebagai seorang perempuan.      Tokoh saya dalam cerpen Mereka bilang, saya monyet! Karya Djenar Maesa Ayu benar-benar memperjuangkan derajad dan kedudukan sebagai seorang perempuan. Tokoh saya tidak mau tertintas oleh kaum laki-laki oleh karena itu, dia memberontak dan melawan atas ketidakadilan yang menimpa dirinya. Sebagai seorang perempuan ia tidak berpangku tangan ataupun pasrah atas perilaku kasar dan dominasi laki-laki terhadapnya.

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa tokoh saya, yaitu penulis merupakan satu-satunya tokoh yang profeminis. Penulis tidak nyaman dengan ketidakadilan dan kepura-puraan yang diciptakan oleh tokoh laki-laki. Mereka terlalu mendominasi sehingga mengabaikan pendapat perempuan

Kamis, 16 Januari 2014

resensi antologi puisi W.S. Rendra "Blues Untuk Bonnie"

RESENSI Oleh: Dayat Hidayat



“Rendra; Sajaknya berupa Epik”

Judul               : Blues untuk Bonnie
Pengarang       : W.S. Rendra
Penerbit           : Pustaka Jaya
Tahun Terbit    : Cetakan Pertama, 1971
              Cetakan Kedua, 2013
Halaman          : 56 Halaman
Harga              : Rp. 14.000,-


Blues untuk Boni diterbitkan pertama kali di Cirebon pada tahun 1971. Sajak-sajak karya W.S. Rendra yang tergabung dalam Antologi Puisi Blues untuk Bonnie diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Buku setebal 56 halaman ini, berisi 13 puisi panjang. Ini hanya salah satu dari beberapa antologi puisi yang menjadi karya W.S. Rendra yang lain.
Blues untuk Bonnie, terasa cukup menggelitik, ketika dituturkan dengan celoteh khas ala W.S. Rendra. Sebagai sosok besar, W. S. Rendra dalam penciptaannya mungkin sekali terinspirasi oleh penyair-penyair dunia yang menjadi kawan seperjuangan.
Menilik antologi puisi Rendra yang satu ini, memaksa kita untuk berpendapat, bahwa Rendra tengah bercerita. Gaya puisinya naratif deskriptif dengan bahasa lugas, boleh dikatakan  sajak Rendra berupa epik. Saya pikir Rendra sudah jengah dengan kaidah estetika yang rumit, hingga akhirnya dia lebih memilih berkelana bebas dengan bahasa-bahasa yang lebih populer namun menggelitik. Lihat saja, bagaimana dia menyinggung realitas sosial dibumbui dengan unsur seks, yang kemudian melahirkan puisi Bersatulah, Kepada M.G, Pesan Pencopet. Dia pun banyak menggunakan gaya-gaya sindiran, untuk merekam momen-moment ironis. Kita bisa melihat ini dalam puisi Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Blues Untuk Bonnie, dan juga Rick dari Corona.
Meskipun di sana-sini Rendra memasukan unsur seks, namun dia tak kehilangan sisi spiritualitas, sebagaimana dia berbicara dengan sudut pandang agamanya, melalui puisi Kotbah dan Nyanyian Angsa.
Bagi saya dari sekian banyak puisi yang hadir dalam Antologi Puisi Blues untuk Bonnie, puisi Kupanggili Namamu lah  yang  meninggalkan kesan  mendalam, ada kesenduan sekaligus pengorbanan besar terpampang di sana. Ketenangan sekaligus romantisme yang berdebur.

.................................
Sia-sia kucari pancaran sinar matamu.
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu
yang kini sudah kulupa.
Sia-sia
Tak ada yang bisa kujangkau
Sempurnalah kesepianku.

Angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.
Dan dua belas ekor serigala
muncul dari masa silam
merobek-robek hatiku yang celaka
...............................


 Memang penggalan puisi di atas sedikit membutuhkan penalaran yang mendalam untuk memahami isinya. Bisa dikatakan terdapat bahasa-bahasa yang emmerlukan  imajinasi dan pengalaman sastra yang memadai untuk menerjemahkan, mengerti maksud dan arti setiap kata-katanya. Namun secara umum, antologi Blues untuk Bonnie, menjadi hal menarik tersendiri, berbalut tuturan renyah.

resensi antologi puisi W.S. Rendra "Potret Pembangunan dalam Puisi"

RESENSI ANTOLOGI PUISI
“Rendra, Tak Pernah Pergi”
Diresensi oleh  : Citra Tri N.





Judul Buku   : Potret Pembangunan dalam Puisi
Pengarang    : W.S. Rendra
Penerbit     : Pustaka Jaya
Tahun        : 2013
Halaman      :88 halaman
Harga        : Rp. 20.000,-
Suara yang nyaring, menekan, dan menyihir itulah yang akan selalu saya ingat.  Setelah menonton video pembacaan langsung puisi Sajak Pertemuan Mahasiswa  tahun lalu di kampus UI, oleh Willybrodus Surendra Bhawana Brotoatmodjo Rendra atau yang akrab disapa W.S. Rendra. Bagi Saya, Rendra menjadi sumber inspirasi. Dalam keadaan Negeri kita yang sesungguhnya tertekan pada rezim orde baru saat itu, dapat membangkitkan semangat siapa pun yang mendengarnya.
Melepas kepergian Si Burung Merak, tergerak hati ini untuk membuka kumpulan sajaknya yang berjudul “Potret Pembangunan dalam Puisi” yang diterbitkan oleh Lembaga Studi Pembangunan tahun 1980 lalu diterbitkan kembali oleh Pustaka Jaya tahun 201. Sesuai dengan judul antologinya, puisi tersebut sarat sekali berbicara (mengkritik) praktik pemerintahan dalam proses pembangunan.
Puisi Rendra, adalah puisi yang hidup sepanjang masa. Fungsi kritik dalam puisi tersebut juga masih sangat tepat bila diutarakan kepada pemerintahan sekarang. Rendra dengan kesaksiannya, Ia mengkritisi persoalan yang nyata dalam sajaknya, membuat siapa pun yang membacanya menjadi merenung dan peka terhadap permasalahan yang ada. Memengaruhi siapa saja yang membaca dan mendengar sajaknya menjadi tergerak hatinya mensugesti siapa saja untuk berpikir kritis dan senantiasa melakukan perubahan yang positif.
Terasa sekali pengaruh positif yang dihasilkan dari antologi “Potret Pembangunan dalam Puisi” dapat memacu semangat generasi muda. Menjadi inspirasi dalam berkarya dan berkarsa. Menyihir pembaca menjadi manusia yang menegakan identitas diri Manusia Indonesia. Dan yang paling penting adalah Rendra mampu membuat kita peka dan berpihak pada mereka yang terpinggirkan, terpuruk, dan tersuruk dalam proses pembangunan. Rendra telah berhasil menanamkan ideologinya kepada pembaca melalui puisi-puisinya.
“Potret Pembangunan dalam Puisi” ini memuat 24 sajak yang ditulis pada pertengahan dekade 1970an, saat Orde Baru pada puncak kejayaannya. Berkah bonanza minyak bumi sangat terasa melimpah, banyak sarana dibangun di kota-kota besar, berbagai prasarana fisik wilayah juga dibangun. Sebagian kelompok yang menikmati proses pembangunan itu, pejabat dan keluarganya, para kontraktor dan rekanan mendadak kaya raya. Gaya hidup mereka hedonis, sementara itu sebagian yang lain justru tertinggal, tergusur, dan terpinggirkan. Terjadi penurunan kualitas pendidikan “manusia seutuhnya” dengan cipta rasa dan karsa sesuai kebutuhan lingkungannya, digantikan  pendidikan yang mengajar anak didik “membeo, menghapal”, mencetak tukang atau kuli pesanan pembangunan semata. Semua itu tercermin dalam sebuah sajak yang berjudul “Sajak Sebatang lisong”
....................
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
......................
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
Dari penggalan puisi di atas jelas Rendra mengkritisi permasalahan pendidikan. Dimana kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di bawah kaki dewi kesenian. Mereka menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan dan tanpa ada bayangan ujungnya. Papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari perosalan kehidupan, tidak ada kesesuaian antara ilmu-ilmu yang diajarkan dengan kebutuhan lingkungan. Rendra menghimbau dalam  puisi ini bahwa kita harus mengamati gejala yang ada. Kita harus turun tangan langsung emnghadapi persoalan yang nyata. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode dan kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Setelah beberapa tahun bersama para mahasiswa berdemonstrasi, berstrategi mengritik pemerintah dan proses pembangunannya, barangkali Rendra lalu menyaksikan bahwa banyak kawan seperjuangannya (mahasiswa) sebagian lulus sekolah dan menjadi bagian dari kekuasaan yang dikritiknya dulu. Maka “Sajak Kenalan Lamamu” (1977) menohok tajam:
……………….
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas, 
membakar mobil-mobil, 
melambaikan poster-poster, 
dan berderap maju, berdemonstrasi. 
…………………. 
Politik adalah cara merampok dunia. 
Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan, 

untuk menikmati giliran berkuasa. 
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan, 

dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi, 
lalu ke mobil sport, lalu: helikopter! 
Politik adalah festival dan pekan olah raga. 
Politik adalah wadah kegiatan kesenian. 
………………………
Entah apakah sejarah selalu berulang, atau persoalan lama tak kunjung selesai, tapi ternyata apa yang diteriakkan Rendra pertengahan 70an itu masih terjadi, atau berulang lagi tiga puluh tahun setelah itu ditulis. Kita menyaksikan bagaimana kebijakan pembangunan, bukannya sudah terbang tinggal landas seperti impiah lama. Tetapi masih berkutat dengan soal kemiskinan yang masih 40 jutaan. Ideologi ekonomi harus kembali lagi kepada “kerakyatan”, kata tabu semasa Orde Baru. Tak bisa ditolak, karena kemiskinan telah “menempel di kaca rumah, di gorden presidenan” kata sang penyair.
Rendra diakhir hayatnya masih menyaksikan betapa politik adalah “cara merampok”, “festival kesenian”, atau “pekan olah raga” yang menghamburkan uang rakyat sekedar untuk menaikkan standar hidup para politikus. Apa yang ditulis tahun 1977 masih terjadi sampai saat ini. Sungguh tragis dan ironis. Sepertinya cerita politik ini tidak pernah mati dan Rendra tidak pernah pergi. Ia tetap hidup dalam sejarah Indonesia dimana dia berjuang mengilhami gejala kemanusiaan dan kebudayaan dengan senjata kata-kata. Selamat Jalan Mas Willy. Bagiku Kau tak pernah pergi.


Kamis, 02 Januari 2014

Dalam Kamar
 Aku memang telah mengunci mulutku rapat-rapat
Aku jengah dari selisih pendapat
Selalu saja banyak polemik, konflik
Selalu saja tak pernah ada rasa aman dan nyaman.
Sesekali putus asa menyergap
Mengendap
Mengendap di aliran hati.
 Rasanya ingin sekali pergi.
Pergi dari sini.
Pergi dari kehidupan yang sangat membelenggu
Membuatku gagu
Dan tak menentu.
 Aku sudah kebal.
Bahkan bosan, menyikapi semua persoalan yang ada.
Cuma toga yang jadi pelitaku.
Mahkota hitam bertali,
Satu-satunya topi yang mampu membeli semua pedi peri ini!
Membeli setiap keringatku,
Membeli setiap tangis dan sedihku,
Membeli mulut mereka yang menghinaku!
 Toga hitam bertali, lekaslah menepi..
Aku menanti
Menanti dalam sepi
Menanti dari setiap revisi.
  Ciledug, 2 Januari, 2014