Kamis, 16 Januari 2014

resensi antologi puisi W.S. Rendra "Potret Pembangunan dalam Puisi"

RESENSI ANTOLOGI PUISI
“Rendra, Tak Pernah Pergi”
Diresensi oleh  : Citra Tri N.





Judul Buku   : Potret Pembangunan dalam Puisi
Pengarang    : W.S. Rendra
Penerbit     : Pustaka Jaya
Tahun        : 2013
Halaman      :88 halaman
Harga        : Rp. 20.000,-
Suara yang nyaring, menekan, dan menyihir itulah yang akan selalu saya ingat.  Setelah menonton video pembacaan langsung puisi Sajak Pertemuan Mahasiswa  tahun lalu di kampus UI, oleh Willybrodus Surendra Bhawana Brotoatmodjo Rendra atau yang akrab disapa W.S. Rendra. Bagi Saya, Rendra menjadi sumber inspirasi. Dalam keadaan Negeri kita yang sesungguhnya tertekan pada rezim orde baru saat itu, dapat membangkitkan semangat siapa pun yang mendengarnya.
Melepas kepergian Si Burung Merak, tergerak hati ini untuk membuka kumpulan sajaknya yang berjudul “Potret Pembangunan dalam Puisi” yang diterbitkan oleh Lembaga Studi Pembangunan tahun 1980 lalu diterbitkan kembali oleh Pustaka Jaya tahun 201. Sesuai dengan judul antologinya, puisi tersebut sarat sekali berbicara (mengkritik) praktik pemerintahan dalam proses pembangunan.
Puisi Rendra, adalah puisi yang hidup sepanjang masa. Fungsi kritik dalam puisi tersebut juga masih sangat tepat bila diutarakan kepada pemerintahan sekarang. Rendra dengan kesaksiannya, Ia mengkritisi persoalan yang nyata dalam sajaknya, membuat siapa pun yang membacanya menjadi merenung dan peka terhadap permasalahan yang ada. Memengaruhi siapa saja yang membaca dan mendengar sajaknya menjadi tergerak hatinya mensugesti siapa saja untuk berpikir kritis dan senantiasa melakukan perubahan yang positif.
Terasa sekali pengaruh positif yang dihasilkan dari antologi “Potret Pembangunan dalam Puisi” dapat memacu semangat generasi muda. Menjadi inspirasi dalam berkarya dan berkarsa. Menyihir pembaca menjadi manusia yang menegakan identitas diri Manusia Indonesia. Dan yang paling penting adalah Rendra mampu membuat kita peka dan berpihak pada mereka yang terpinggirkan, terpuruk, dan tersuruk dalam proses pembangunan. Rendra telah berhasil menanamkan ideologinya kepada pembaca melalui puisi-puisinya.
“Potret Pembangunan dalam Puisi” ini memuat 24 sajak yang ditulis pada pertengahan dekade 1970an, saat Orde Baru pada puncak kejayaannya. Berkah bonanza minyak bumi sangat terasa melimpah, banyak sarana dibangun di kota-kota besar, berbagai prasarana fisik wilayah juga dibangun. Sebagian kelompok yang menikmati proses pembangunan itu, pejabat dan keluarganya, para kontraktor dan rekanan mendadak kaya raya. Gaya hidup mereka hedonis, sementara itu sebagian yang lain justru tertinggal, tergusur, dan terpinggirkan. Terjadi penurunan kualitas pendidikan “manusia seutuhnya” dengan cipta rasa dan karsa sesuai kebutuhan lingkungannya, digantikan  pendidikan yang mengajar anak didik “membeo, menghapal”, mencetak tukang atau kuli pesanan pembangunan semata. Semua itu tercermin dalam sebuah sajak yang berjudul “Sajak Sebatang lisong”
....................
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
......................
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
Dari penggalan puisi di atas jelas Rendra mengkritisi permasalahan pendidikan. Dimana kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di bawah kaki dewi kesenian. Mereka menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan dan tanpa ada bayangan ujungnya. Papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari perosalan kehidupan, tidak ada kesesuaian antara ilmu-ilmu yang diajarkan dengan kebutuhan lingkungan. Rendra menghimbau dalam  puisi ini bahwa kita harus mengamati gejala yang ada. Kita harus turun tangan langsung emnghadapi persoalan yang nyata. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode dan kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Setelah beberapa tahun bersama para mahasiswa berdemonstrasi, berstrategi mengritik pemerintah dan proses pembangunannya, barangkali Rendra lalu menyaksikan bahwa banyak kawan seperjuangannya (mahasiswa) sebagian lulus sekolah dan menjadi bagian dari kekuasaan yang dikritiknya dulu. Maka “Sajak Kenalan Lamamu” (1977) menohok tajam:
……………….
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas, 
membakar mobil-mobil, 
melambaikan poster-poster, 
dan berderap maju, berdemonstrasi. 
…………………. 
Politik adalah cara merampok dunia. 
Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan, 

untuk menikmati giliran berkuasa. 
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan, 

dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi, 
lalu ke mobil sport, lalu: helikopter! 
Politik adalah festival dan pekan olah raga. 
Politik adalah wadah kegiatan kesenian. 
………………………
Entah apakah sejarah selalu berulang, atau persoalan lama tak kunjung selesai, tapi ternyata apa yang diteriakkan Rendra pertengahan 70an itu masih terjadi, atau berulang lagi tiga puluh tahun setelah itu ditulis. Kita menyaksikan bagaimana kebijakan pembangunan, bukannya sudah terbang tinggal landas seperti impiah lama. Tetapi masih berkutat dengan soal kemiskinan yang masih 40 jutaan. Ideologi ekonomi harus kembali lagi kepada “kerakyatan”, kata tabu semasa Orde Baru. Tak bisa ditolak, karena kemiskinan telah “menempel di kaca rumah, di gorden presidenan” kata sang penyair.
Rendra diakhir hayatnya masih menyaksikan betapa politik adalah “cara merampok”, “festival kesenian”, atau “pekan olah raga” yang menghamburkan uang rakyat sekedar untuk menaikkan standar hidup para politikus. Apa yang ditulis tahun 1977 masih terjadi sampai saat ini. Sungguh tragis dan ironis. Sepertinya cerita politik ini tidak pernah mati dan Rendra tidak pernah pergi. Ia tetap hidup dalam sejarah Indonesia dimana dia berjuang mengilhami gejala kemanusiaan dan kebudayaan dengan senjata kata-kata. Selamat Jalan Mas Willy. Bagiku Kau tak pernah pergi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar