RESENSI ANTOLOGI PUISI
|
Diresensi
oleh : Citra Tri N.
Judul
Buku : Potret Pembangunan dalam Puisi
Pengarang : W.S. Rendra
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun : 2013
Halaman :88 halaman
Harga : Rp. 20.000,-
Suara yang nyaring, menekan, dan menyihir
itulah yang akan selalu saya ingat.
Setelah menonton video pembacaan langsung puisi Sajak Pertemuan
Mahasiswa tahun lalu di kampus UI, oleh
Willybrodus Surendra Bhawana Brotoatmodjo Rendra atau yang akrab disapa W.S.
Rendra. Bagi Saya, Rendra menjadi sumber inspirasi. Dalam keadaan Negeri kita
yang sesungguhnya tertekan pada rezim orde baru saat itu, dapat membangkitkan
semangat siapa pun yang mendengarnya.
Melepas kepergian Si Burung Merak, tergerak
hati ini untuk membuka kumpulan sajaknya yang berjudul “Potret Pembangunan
dalam Puisi” yang diterbitkan oleh Lembaga Studi Pembangunan tahun 1980 lalu
diterbitkan kembali oleh Pustaka Jaya tahun 201. Sesuai dengan judul
antologinya, puisi tersebut sarat sekali berbicara (mengkritik) praktik
pemerintahan dalam proses pembangunan.
Puisi Rendra, adalah puisi
yang hidup sepanjang masa. Fungsi kritik dalam puisi tersebut juga masih sangat
tepat bila diutarakan kepada pemerintahan sekarang. Rendra dengan kesaksiannya,
Ia mengkritisi persoalan yang nyata dalam sajaknya, membuat siapa pun yang
membacanya menjadi merenung dan peka terhadap permasalahan yang ada.
Memengaruhi siapa saja yang membaca dan mendengar sajaknya menjadi tergerak
hatinya mensugesti siapa saja untuk berpikir kritis dan senantiasa melakukan
perubahan yang positif.
Terasa sekali pengaruh
positif yang dihasilkan dari antologi “Potret Pembangunan dalam Puisi” dapat
memacu semangat generasi muda. Menjadi inspirasi dalam berkarya dan berkarsa.
Menyihir pembaca menjadi manusia yang menegakan identitas diri Manusia
Indonesia. Dan yang paling penting adalah Rendra mampu membuat kita peka dan
berpihak pada mereka yang terpinggirkan, terpuruk, dan tersuruk dalam proses
pembangunan. Rendra telah berhasil menanamkan ideologinya kepada pembaca
melalui puisi-puisinya.
“Potret
Pembangunan dalam Puisi” ini memuat 24 sajak yang ditulis pada pertengahan dekade
1970an, saat Orde Baru pada puncak kejayaannya. Berkah bonanza minyak bumi
sangat terasa melimpah, banyak sarana dibangun di kota-kota besar, berbagai
prasarana fisik wilayah juga dibangun. Sebagian kelompok yang menikmati proses
pembangunan itu, pejabat dan keluarganya, para kontraktor dan rekanan mendadak
kaya raya. Gaya hidup mereka hedonis, sementara itu sebagian yang lain justru
tertinggal, tergusur, dan terpinggirkan. Terjadi penurunan kualitas pendidikan
“manusia seutuhnya” dengan cipta rasa dan karsa sesuai kebutuhan lingkungannya,
digantikan pendidikan yang mengajar anak
didik “membeo, menghapal”, mencetak tukang atau kuli pesanan pembangunan
semata. Semua itu tercermin dalam sebuah sajak yang berjudul “Sajak Sebatang
lisong”
....................
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
......................
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
Dari penggalan puisi di atas jelas
Rendra mengkritisi permasalahan pendidikan. Dimana kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di bawah kaki dewi kesenian. Mereka menghadapi satu jalan
panjang, tanpa pilihan dan tanpa ada bayangan ujungnya. Papantulis-papantulis
para pendidik yang terlepas dari perosalan kehidupan, tidak ada kesesuaian
antara ilmu-ilmu yang diajarkan dengan kebutuhan lingkungan. Rendra menghimbau
dalam puisi ini bahwa kita harus mengamati
gejala yang ada. Kita harus turun tangan langsung emnghadapi persoalan yang
nyata. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode dan kita sendiri mesti
merumuskan keadaan.
Setelah beberapa tahun bersama para
mahasiswa berdemonstrasi, berstrategi mengritik pemerintah dan proses
pembangunannya, barangkali Rendra lalu menyaksikan bahwa banyak kawan
seperjuangannya (mahasiswa) sebagian lulus sekolah dan menjadi bagian dari
kekuasaan yang dikritiknya dulu. Maka “Sajak Kenalan Lamamu” (1977)
menohok tajam:
……………….
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakar mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
………………….
Politik adalah cara merampok dunia.
Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan,
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi,
lalu ke mobil sport, lalu: helikopter!
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
………………………
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakar mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
………………….
Politik adalah cara merampok dunia.
Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan,
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi,
lalu ke mobil sport, lalu: helikopter!
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
………………………
Entah apakah sejarah selalu
berulang, atau persoalan lama tak kunjung selesai, tapi ternyata apa yang
diteriakkan Rendra pertengahan 70an itu masih terjadi, atau berulang lagi tiga
puluh tahun setelah itu ditulis. Kita menyaksikan bagaimana kebijakan
pembangunan, bukannya sudah terbang tinggal landas seperti impiah lama. Tetapi
masih berkutat dengan soal kemiskinan yang masih 40 jutaan. Ideologi ekonomi
harus kembali lagi kepada “kerakyatan”, kata tabu semasa Orde Baru. Tak bisa
ditolak, karena kemiskinan telah “menempel di kaca rumah, di gorden presidenan”
kata sang penyair.
Rendra diakhir hayatnya
masih menyaksikan betapa politik adalah “cara merampok”, “festival kesenian”,
atau “pekan olah raga” yang menghamburkan uang rakyat sekedar untuk menaikkan
standar hidup para politikus. Apa yang ditulis tahun 1977 masih terjadi sampai
saat ini. Sungguh tragis dan ironis. Sepertinya cerita politik ini tidak pernah
mati dan Rendra tidak pernah pergi. Ia tetap hidup dalam sejarah Indonesia
dimana dia berjuang mengilhami gejala kemanusiaan dan kebudayaan dengan senjata
kata-kata. Selamat Jalan Mas Willy. Bagiku Kau tak pernah pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar